Keinginan untuk memperoleh keturunan dan mempertahankannya adalah sebagian sifat dari makhluk hidup. Kebanyakan pasangan menikah adalah untuk memiliki anak dan membesarkannya, ketika kehamilan tidak terjadi dalam satu periode tertentu maka timbul kekhawatiran adanya infertilitas. Alasan tersebut mendorong meningkatnya kunjungan konsultasi dan pemeriksaan pada klinik infertilitas.1 Kemajuan teknologi reproduksi dan teknologi pemeriksaan infertilitas meningkatkan harapan wanita infertil untuk mendapatkan keturunan, setelah diketahuinya berbagai etiologi infertilitas serta kemajuan teknologi pengobatannya.

Kemungkinan kehamilan pada pasangan yang telah menikah satu tahun adalah 80%, setelah dua tahun 93%. Sedangkan pada penelitian oleh Page didapatkan bahwa 20 sampai 35% pasangan menikah membutuhkan waktu lebih dari satu tahun untuk mendapatkan kehamilan1. Di Amerika, didapatkan 10 sampai 20% pasangan infertil, sedangkan dari survei di Indonesia didapatkan sekitar 12% pasangan infertil.

Faktor pria sebagai penyebab infertilitas adalah sama besar dengan faktor wanita. Pada pria, penyebab infertilitas bisa karena gangguan sperma (sperm dysfunction), yang dapat berupa gangguan motilitas, abnormalitas, atau gangguan mukus penetrasi. Gangguan ejakulasi karena hambatan atau kegagalan produksi sperma sangat jarang (2%). Pada wanita, 30% penyebab infertilitas adalah faktor tuba.2 Polikistik ovarium didapatkan pada 90% wanita dengan oligomenorea dan 30% pada wanita dengan amenorea. Kerusakan tuba baik itu oklusi atau perlengketan terdapat pada 20% wanita infertil.

Penyakit radang rongga panggul (PID) merupakan salah satu penyakit akibat hubungan seksual yang dapat dikaitkan dengan kejadian infertilitas pada wanita. Morbiditas yang timbul akibat PID cukup tinggi, yaitu 20% menjadi infertil, 20% dengan pelvis kronis, 10% dapat timbul kehamilan ektopik. Klamidia trakomatis, sebagai penyebab terbesar penyakit radang rongga panggul, dapat berakibat rusaknya intraepitelial mukosa tuba, dan terjadilah infertilitas tuba.

Pemeriksaan dini (skrining) infeksi klamidia sebaiknya dilakukan pada wanita usia 20 sampai 25 tahun atau wanita yang telah melakukan hubungan seksual aktif. Pemeriksaan serologik terhadap antibodi klamidia dapat dijadikan pemeriksaan dini untuk mengetahui adanya infeksi. Penulisan ilmiah ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan tentang diagnosis infeksi klamidia pada infertilitas tuba dan penanganannya.

INFERTILITAS TUBA
Infertilitas didefinisikan sebagai suatu kegagalan terjadinya kehamilan setelah satu tahun melakukan hubungan seksual secara reguler tanpa kontrasepsi. Penyebab infertilitas dapat ditemukan pada wanita atau pria dengan kemungkinan yang sama. Penyebab infertilitas pada wanita yang terpenting adalah faktor tuba (infertilitas tuba), yaitu sekitar 30%.3 Riwayat adanya infeksi pada rongga panggul memungkinkan faktor tuba dan perituba sebagai faktor penyebab infertilitas pada wanita. Penggunaan intra-uterine device (IUD) dan multipartner sexual activity menambah kecurigaan tersebut.

Kerusakan tuba dan oklusi tuba merupakan keadaan yang paling banyak ditemukan pada infertilitas tuba, Klamidia trakomatis adalah penyebab terbanyak penyakit akibat hubungan seksual yang mengakibatkan radang rongga panggul.3,4 Menurut Robinson et al., berdasarkan pemeriksaan laparoskopik penderita salpingitis 14 sampai 65% diantaranya dengan kerusakan tuba, dan 20% diantaranya disebabkan infeksi klamidia trachomatis.

Westrom menyebutkan, bahwa kejadian infertilitas setelah satu periode salpingitis adalah 11 sampai 12%, setelah dua periode 23% dan setelah tiga periode salpingitis sebesar 54% dan kebanyakan disebabkan oleh infeksi klamidia trakomatis. Oklusi tuba oleh jaringan parut dapat ditegakkan dengan pemeriksaan histerosalpingografi.

INFEKSI KLAMIDIA TRAKOMATIS
Klamidia adalah mikroorganisme yang hidup intraseluler dan memiliki kemampuan menginvasi sel epitel kolumnar, dengan kecepatan replikasi yang lama. Dengan karakteristik ini dapat diterangkan mengapa infeksi klamidia memiliki masa laten yang panjang dibandingkan bakteri lain dan sering terjadi infeksi asimtomatik.

Infeksi klamidia asimtomatik dapat terjadi pada kontak pertama dengan klamidia, keadaan tanpa gejala ini kemudian dapat berkembang menjadi infeksi kronik pada salpings. Infeksi klamidia asimtomatik didapatkan pada 3 sampai 5% wanita hamil dan 15% pada wanita tidak hamil yang aktif seksual.1 Suatu penelitian dengan laparaskop pada wanita dengan salpingitis, didapatkan bahwa 14 sampai 65% kasus disebabkan infeksi klamidia dan 20%nya terdapat kerusakan pada tuba.


Makalah Selengkapnya silahkan klik : download file.pdf 57Kb